SEJAK tahun 1990, kebutuhan bahan baku industri perkayuan tidak mungkin dapat dipenuhi dari penebangan hutan alam produksi. Oleh karena itu, perlu kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan produksi melalui pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Indonesia mayoritas ditanam dilahan gambut tropis. Industri sektor swasta dalam bidang kehutanan memiliki keahlian. Model tradisional bagi konservasi tidak lagi cukup untuk menjamin pemeliharaan jangka panjang dari fungsi vital lahan gambut. Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) yang dilakukan oleh industri kehutanan mampu memberikan solusi dalam melindungi lahan gambut termasuk ekosistemnya, serta memastikan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan daya saing global.

Dalam mengelola perkebunan lahan gambut yang bertanggung jawab, emisi karbon dan api harus dikurangi dengan mempertahankan tingkat ketinggian air di dekat permukaan gambut. Tahun 2007, PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) menginisiasi proyek tiga tahun yakni Proyek Science Based Management Support untuk meningkatkan pemahaman hidrologi, ekologi dan parameter lain untuk mencapai manajemen lahan gambut yang bertanggung jawab. Proyek ini dilakukan bekerja sama dengan para ahli dari Deltares, CARBOPEAT, ProForest, dan Universitas Leicester (Inggris), Wageningen (Belanda) dan Helnski (Finlandia). Dimana hasil kajian ilmiahnya menjadi landasan bagi RAPP dalam pelaksanaan pelestarian hutan alam didataran rendah di dalam wilayah pengembangan perkebunan HTI dengan mempertahankan fungsi landskap hidrologi, mengurangi emisi CO2 dari lahan gambut serta menjaga produktivitas jangka panjang di perkebunan HTI.

Proyek ini terintegrasi ke dalam sistem yang disebut "Ecohydro" manajemen. Hal ini membuat perusahaan mengetahui bahwa lahan gambut harus direncanakan dan dikelola di tingkat landscape, melewati area kubah gambut pusat dan daerah aliran sungai dan penyangga mereka terhadap dampak drainase. Dengan menggunakan tekhnik "hydro-buffer" antara perkebunan HTI dan kawasan konservasi, melalui zona penyangga dan penempatan efisien struktur pengendalian air di perkebunan, RAPP dapat mempertahankan dan meningkatkan tingkat ketinggian air, sehingga meminimalkan penurunan permukaan gambut, membantu pemadaman kebakaran dengan ketersediaan air, dan mengurangi emisi karbon.

Sebelum tahun 2007, ketinggian air rata-rata di perkebunan lebih dari 120 cm di bawah permukaan gambut. Saat ini, RAPP telah meningkatkan tingkat ketinggian air diarea perkebunan dan meningkatkannya menjadi 40cm- 90cm di bawah permukaan gambut. Dengan mengintegrasikan hutan alam "hydro-buffer" ke dalam perencanaan landscape, saat ini pengelolaan air di hutan konservasi RAPP mengikuti perubahan musim yang terjadi di daerah tropis. Pengelolaan air yang efektif mengurangi tingkat penurunan permukaan gambut, mengurangi degradasi gambut yang berarti emisi karbon rendah dan meningkatkan produktivitas dan keberlangsungan tanaman perkebunan lebih lama dari perkebunan HTI dan kawasan konservasi hutan alam.

Pada Oktober 2013 lalu, dua puluh peneliti dari Jepang, Korea dan Indonesia melakukan kunjungan lapangan untuk melihat pengelolaan HTI di lahan gambut maupun di lahan mineral.

Dr. John Bathgate dari RAPP menjelaskan bahwa pengelolaan HTI RAPP berdasarkan pada praktek yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan aspek tanah, air, iklim, keanekaragaman hayati, dan lingkungan, dalam rangka menjamin ketersediaan bahan baku pulp dan kertas, serta mempertahankan fungsi sosial dan lingkungan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kalimat ''Seeing is believing'' disampaikan oleh Dr. John Bathgate pada Prof Ryusuke Hatano dari Hokkaido University Jepang ke lokasi HTI RAPP. Prof Hatano menjelaskan bahwa melalui pengalaman yang panjang selama tiga rotasi tanaman, pertumbuhan dan produktivitas tanaman Akasia dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan.

Prof Hatano menjelaskan bahwa para peneliti internasional tersebut cukup kagum dengan rotasi tanaman Akasia yang relatif pendek, yaitu lima tahun. Beliau menambahkan bahwa di beberapa negara lain dibutuhkan yang lebih panjang bagi rotasi tanaman Akasia. Prof Hatano menyampaikan bahwa kunjungannya bertujuan untuk melihat dan memastikan perkembangan dan kestabilan lahan gambut dalam hal produktivitas tanaman. ''Stabilitas unsur-unsur penting dalam lahan gambut memegang peranan penting dalam tingginya produktivitas tanaman dan juga tanaman Akasia berperan dalam penyerapan karbon terkait mitigasi perubahan iklim,'' ungkapnya.

Para pakar tersebut juga menyempatkan diri melihat uji coba teknologi pintu air otomatis (automatic watergate) yang berfungsi mengatur ketinggian air pada areal tanaman Acacia crassicarpa. Dr. John Bathgate menjelaskan uji coba ini ingin melihat bagaimana peran ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mendukung pengelolaan hutan tanaman di lahan gambut secara berkelanjutan.

Para pakar internasional tersebut juga didampingi oleh Dr. Suwardi, Sekretaris Jenderal Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI). Suwardi menambahkankan para peneliti tersebut memperoleh penjelasan mengenai perkembangan pengelolaan hutan tanaman baik di lahan gambut maupun di lahan mineral di areal konsesi HTI RAPP. Karenanya, aspek penelitian dan pengembangan memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas tanaman baik dari segi produktivitas maupun ketahanan terhadap hama dan penyakit.

Dr. John Bathgate juga menambahkan bahwa untuk memastikan pertumbuhan tanaman yang baik dengan hasil yang maksimal, tanaman Akasia dipilih dari bibit yang berasal dari materi genetik yang secara terus menerus ditingkatkan kualitasnya, di samping praktek budidaya hutan serta pengelolaan tata air yang tepat. Lebih lanjut, kebutuhan nutrisi tanaman juga harus terus dipelajari dan dikaji, tandas Bathgate.

Sementara itu, Dr. Basuki Sumawinata, anggota Tim Measurement, Reporting and Verification (MRV) Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa praktek pengelolaan HTI RAPP diimplementasikan melalui penerapan penyiapan lahan tanpa bakar dan sistem drainase eko-hidro. Praktek terbaik yang dilakukan RAPP tersebut merupakan bagian dari upaya konkret terhadap mitigasi emisi gas rumah kaca dari hutan tanaman.

RAPP menerapkan kebijakan tidak membakar lahan sejak tahun 1994. Dengan menggunakan kombinasi metode manual dan mekanik dalam penyiapan lahan untuk penanaman kembali yang menjamin perusahaan tidak berkontribusi terhadap asap dan kabut dan mampu melakukan penanaman pohon setiap hari sepanjang tahun. Sejak tahun 1999, Pembangunan Sistem Usaha Pertanian Terpadu di bawah Program RAPP telah diajarkan teknik mulsa alami yang mengurangi penguapan dan tumbuhnya tanaman lain disekitar tanaman pokok sehingga tidak memerlukan pembakaran lahan bagi para petani sayuran didesa.

Kunci penting dalam pengelolaan lahan gambut dapat dilakukan melalui pengelolaan tata air secara profesional yang membatasi drainase untuk kawasan budaya dan melindungi sistem hutan rawa gambut yang dilestarikan.

Dengan berbasis ilmu pengetahuan dan pengelolaan lahan gambut yang bertanggung jawab, membutuhkan investasi dan teknologi serta sumber daya manusia, degradasi di lahan gambut dapat dihindari.

RAPP sebagai salah satu pelaku dunia usaha dibidang industri kehutanan HTI menjadi pemimpin dalam menjalankan praktek terbaik (best practice) dalam pengelolaan hutan lestari secara bertanggung jawab, dan dikelola dengan melakukan pendekatan termasuk perlindungan terhadap Hutan Bernilai Konservasi Tinggi atau yang lebih dikenal dengan High Conservation Value Forest (HCVF) yang sudah diadopsi sejak tahun 2006 secara sukarela. Saat ini perusahaan telah menerapkan 20 % dari areanya untuk pelaksanaan Area yang Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF).

Pada Januari 2014 lalu, RAPP memperkenalkan Kebijakan Pengelolaan Hutan Lestari dimana perusahaan berkomitmen untuk melakukan moratorium hutan tanaman di area yang belum selesai dilakukan penilaian untuk identifikasi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value Forests/HCVF); Tidak menambah pembangunan hutan tanaman baru pada Desember 2014; Pada 2019, pasokan kayu pabrik sepenuhnya diambil dari hutan tanaman; Melipatgandakan luas program restorasi hutan menjadi 40.000 hektar; Mengupayakan agar luas area konservasi sama dengan luas area hutan tanaman yang dikelola RAPP; Membentuk Stakeholder Advisory Committee yang independen untuk mengawasi implementasi Kebijakan RAPP.

SUMBER